Sabtu, 24 Januari 2009

MESJID PERTAMA DI PARAPAT

Masjid Raya Tanjung Pinang Kepulauan Riau

Menarik untuk di posting ulang, karena mungkin tidak semua bisa membaca tulisan di harian Kompas, terutama untuk informasi masjid pertama di Parapat yang di dirikan oleh Bung Karno semasa pembuangan, di kota sejuk di pinggiran Danau Toba yang terkenal itu.

Bila kita dari Sipirok lewat Pahae, betul seperti yang di tulis Neta “Sementara sajian di kedai-kedai pinggir jalan saya agak meragukan kehalalannya.”
Berjalan kaki menyusuri Parapat banyak hal menarik didapat. Di balik jalannya yang berliku dan turun-naik, Parapat menyimpan begitu banyak bangunan tua berarsitektur menggoda.

Parapat adalah kelurahan di tepi teluk di Danau Toba, masuk Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Lebih dari 90 persen penduduknya beretnis Batak Toba, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Selebihnya, etnis Jawa, Sunda, Padang, dan China. Tak heran jika di kota kecil ini terdapat gereja Protestan dan Katolik, masjid, dan wihara.

Berjalan kaki menyusuri Parapat mengingatkan kita pada dahsyatnya letusan gunung api di sana ribuan tahun lalu. Letusan itu membentuk danau berukuran 100 km x 30 km dan berada 1.000 meter dari permukaan laut, dengan Pulau Samosir di tengahnya. Menakjubkan.

Rasa takjub sebenarnya sudah muncul jauh sebelum memasuki Parapat. Lepas dari Pematang Siantar, dari atas ketinggian tebing curam, kita sudah disuguhi keindahan Danau Toba yang menghampar biru di kejauhan. Hingga setengah jam kendaraan menuruni bukit terjal dan berkelok-kelok di bibir kawah Danau Toba, dapat disaksikan sisa muntahan bebatuan dan abu vulkanik yang menurut peneliti Universitas Teknologi Michigan, Amerika Serikat, sebagai bekas letusan maha dahsyat pada 75.500 tahun lalu. Letusan itu memuntahkan bebatuan dan abu vulkanik hingga radius 2.000 km² serta menimbulkan kegelapan selama dua minggu.

Petualangan jalan kaki saya mulai dari tengah kota, di perempatan jalan depan Inna Parapat. Hotel ini dibangun tahun 1911 dan menjadi hotel pertama di kota itu.
Dari sini saya menyusuri Jalan Marihat menuju kawasan Tanjung Sipora-pora hingga ke ujung barat. Jalan kecil berliku dan turun-naik cukup menguras tenaga. Di sepanjang jalan terdapat beberapa bangunan tua dengan arsitektur bergaya kolonial Belanda, sebagian besar kurang terawat.

Wisata arsitektur

Di kawasan paling ujung kembali saya menemukan hal menakjubkan. Sebuah bangunan kuno berdiri kokoh di ujung tanjung bertebing sangat curam. Di kejauhan, di depannya terlihat fatamorgana Pulau Samosir bertemu dengan daratan Sumatera. Jika cuaca cerah, pada sore hari dari gedung ini terlihat jelas proses matahari terbenam di fatamorgana Samosir.

Di tempat ini, pada 1 Januari 1949, Presiden Soekarno diasingkan Belanda. Bung Karno bersama Agus Salim dan Sutan Syahrir dipindahkan ke sana setelah sebelumnya diasingkan di Brastagi, Kabupaten Karo.
Pesanggrahan buatan tahun 1820 itu berukuran 10 meter x 20 meter, dikelilingi halaman seluas dua hektar. Bangunannya bergaya arsitektur neoklasik atau dikenal sebagai Indische Architectuur.

Dari pesanggrahan ini saya jalan memutar menuju timur. Di sisi kanan ada beberapa bangunan tua dan di sisi kiri Danau Toba menghampar. Sementara jauh di seberangnya terlihat mobil kecil-kecil melaju mengisi kesibukan lalu lintas Trans-Sumatera.
Dari sini saya kembali ke tempat awal dan langsung menuju kawasan timur Parapat melalui Jalan Bukit Barisan. Jalanan menanjak curam. Di sisi kiri-kanan jalan sangat banyak terdapat bangunan bergaya arsitektur kolonial. Beberapa di antara bangunan tua itu dijadikan kantor instansi pemerintah.

Kawasan ini tampaknya menjadi pusat kota tua Parapat. Soalnya dari seluruh tempat di Parapat hanya di kawasan ini cukup banyak terdapat bangunan bergaya arsitektur kolonial.

Gaya arsitektur bangunan di kawasan ini merupakan perpaduan selaras antara tiga unsur: tradisional, modern, dan tropis. Karya arsitektur yang ada umumnya menunjukkan perhatian besar pada iklim tropis Parapat terlihat pada jendela dan kisi-kisi ventilasi yang menjulang tinggi dari lantai ke langit-langit.

Meski Parapat kota sejuk, jendela dan kisi-kisi itu difungsikan juga sebagai corong pergantian udara dan juga agar penghuni dapat leluasa memanfaatkan cahaya matahari.
Di tempat ini terdapat beberapa bangunan dengan gaya arsitektur dipengaruhi aliran Delf. Hal ini terlihat dari upaya menggabungkan bangunan kotak dengan sistem kisi (grid) rasional, yang kemudian diperkaya dengan unsur pracetak untuk dinding luar.
Di bagian tengah kawasan timur ini terdapat bangunan gereja HKBP, mewakili arsitektur transisi klasik Eropa, terlihat modern tetapi tetap berciri tropis.
Di Parapat, bangunan tempat peristirahatan umumnya terinspirasi arsitektur vernakular Nusantara dengan adaptasi pada iklim. Ciri khasnya, halaman rumah adalah rerumputan yang menghampar luas.

Bagi orang Batak, rumah memang lebih dari sekadar tempat tinggal, tapi juga bangunan yang ditata secara perlambang, berkonteks dengan sosial budaya dan status kedudukan di dalam masyarakat.

Potensi besar

Meski Bung Karno sangat singkat bermukim di Parapat, tetapi dia menorehkan sejarah baru dengan memprakarsai berdirinya masjid di kota ini.
Pada tahun 1949, saat hendak melaksanakan shalat Jumat, Bung Karno tidak menemukan masjid di kota ini. “Di sini belum ada masjid. Dirikanlah masjid untuk shalat orang-orang Islam yang singgah,” ujar Bung Karno.
Mendengar ucapan sang Proklamator, Abdul Halim Pardede mewakafkan sebidang tanahnya untuk pembangunan Masjid Taqwa.

Parapat tentunya tak hanya bersejarah bagi umat Muslim, tetapi juga sangat bersejarah bagi umat Nasrani Batak Toba. Pada tahun 1909 dilakukan proses permandian suci oleh Pendeta Theis terhadap 38 orang Batak di kota ini setelah pada 12 Februari 1900 Pendeta Samuel Panggabean dan Friederich Hutagalung diutus ke daerah sekitar Danau Toba untuk menyebarkan agama Kristen.

Dari sini terlihat Parapat memiliki wisata alam, wisata arsitektur, dan potensi wisata rohani, wisata sejarah, bahkan wisata kuliner.
Parapat memiliki kuliner yang menarik, seperti lomok-lomok (lemak), ikan naniura (ikan mas yang dimasak pakai asam), ikan naniarsik (ikan mas yang diarsik), lapet, dali (susu sapi), sop ikan danau toba (nila) asam pedas, ikan bakar hopar, dan ikan pora-pora goreng. Memang kuliner khas Batak ini baru bisa dinikmati di hotel-hotel berbintang dengan harga relatif mahal. Sementara sajian di kedai-kedai pinggir jalan saya agak meragukan kehalalannya.

Sayangnya Parapat dengan segala potensinya tak kunjung mampu menarik wisatawan. Parapat terlalu sepi jika dibandingkan dengan Bali. Sepanjang hari hanya saya seorang diri yang menyusuri kota wisata ini.

Tidak ada komentar: