Minggu, 05 Oktober 2008

Masjid Krue Se di Thailand Selatan Pattani

Tentara Thailand menyerbu masuk masjid dengan menggunakan senjata otomatis dengan alasan untuk menghentikan pemberontakan yang umumnya hanya pemuda-pemuda Muslim bersenjatakan pentungan.

Tak ayal, atas kekejaman itu, setidaknya 32 pemuda Muslim di dalam masjid tewas dibantai dan 112, warga Muslim lainnya dibunuh.
Beberapa hari lalu, Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra mengungkapkan rasa kecewanya sehubungan tindakan kejam aparat keamanan yang telah membantai kaum Muslimin di negara itu.

Sampai saat ini ribuan orang tewas akibat konflik berkepanjangan di Thailand Selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Konflik membara di wilayah selatan ini terjadi sejak Thailand menggabungkan satu kesultanan etnis Melayu dengan negaranya seabad yang lampau.

Satu kesultanan etnis Melayu tersebut, Kesultanan Pattani Raya, ketika masuk menjadi bagian dari Thailand yang saat itu bernama kekaisaran Siam dibagi menjadi tiga provinsi, Narathiwat, Yala dan Pattani. Dalam perkembanganya ketiga provinsi ini kemudian terbagi menjadi empat, ditambah Provinsi Satun. Diantara keempat Provinsi tersebut, hanya Satun yang tidak mengalami pergolakan politik yang signifikan.

Yang masih menjadi perdebatan sampai sekarang adalah apakah konflik yang terjadi di Thailand selatan adalah konflik etnis atau konflik agama. Masalahnya, dalam konflik di Thailand, tidak ada perpotongan antara kedua variabel tersebut. Menjadi seorang Thai selalu diasosiasikan dengan Budha sedangkan menjadi Melayu selalu diasosiasikan dengan Muslim

Peneliti di Nanyang Technological University, S.P. Harish, dalam artikelnya di Contemporary Southeast Asia mengatakan pada awalnya, apabila ditilik dari sejarah, konflik yang terjadi adalah konflik etnis antara Thai dan Melayu. Namun dalam perkembangannya konflik ini kemudian sengaja atau tidak sengaja digeser menjadi konflik agama, antara Islam dan Budha.

Menurut Harish ada empat alasan utama yang menyebabkan pergeseran ini. Pertama, pemerintah Thailand berusaha menghilangkan ide “menjadi melayu” untuk mereka yang hidup di bagian selatan. Setelah Perang Dunia II, ada ketakutan dari pemerintah Thailand akan bangkitnya nasionalisme melayu di selatan yang akan mengurangi loyalitasnya kepada pemerintah.

Oleh sebab itu, untuk menghapus pembagian etnis di Thailand mereka menggunakan variabel agama untuk menyebut kelompok Melayu yang tinggal di Selatan, Thai-Muslim. Namun karena istilah Thai sendiri selalu diasosiasikan dengan Budha maka penyebutan Thai-Muslim diartikan sebagai “engkau memang Thai, tapi muslim. Alih-alih merangkul perbedaan etnis, penggunaan ini malah mempertegas variabel pemisah yang lain: agama.

Kedua, kurangnya dukungan dari Malaysia, yang nota bene merupakan negara “sesama melayu”, kepada kelompok pemberontak mengurangi esensi “kemelayuan” dalam konflik tersebut. Perdana Menteri Malaysia pernah menyatakan bahwa berdasarkan piagam ASEAN, negaranya tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Thailand. Keputusan yang diambil Malaysia ini cukup berat mengingat desakan dari publik untuk melakukan intervensi dalam kasus tersebut sangat kuat.

Ketiga, semakin meningkatnya jumlah pelajar dari Thailand Selatan yang melanjutkan pendidikan di Timur Tengah semakin memperkuat kesadaran akan indentitas keagamaan yang menyatukan mereka. Selain itu sejak tahun 70-an bantuan untuk pendidikan Islam dari luar negeri memasuki Thailand Selatan. Dengan bantuan ini maka semakin banyak orang yang menuntut ilmu agama ke Timur Tengah. Inilah yang kemudian mempertinggi kesadaran Islam dari provinsi-provinsi di Thailand Selatan.

Keempat, suasana pasca 11 September dan ketakutan akan terorisme global memasuki konflik lokal dan juga menambahkan nuansa religius di Thailand Selatan. Meskipun tidak ada hubungan yang jelas antara gerakan di wilayah ini dengan kelompok teroris tertentu, namun penangkapan pimpinan operasional Jamaah Islamiyah, Hambali, yang disebut-sebut sebagai kelompok teroris regional Asia, semakin memperkuat dugaan keterkaitan tersebut.

Selain apa yang disebutkan Harish tersebut, lokasi bentrokan fisik dalam konflik tersebut seringkali menunjukkan kecenderungan konflik agama. Misal pada 28 April 2004 dalam pertempuran di Masjid Krue Se menguatkan peran identitas keagamaan dalam konflik tersebut. Pertempuran tersebut diawali dari sekelompok pria seusai bersembahyang di Masjid Krue Se menyerang markas keamanan terdekat.

Serangan ini kemudian dibalas oleh tentara Thailand dan membuat sekelompok pria tersebut bersembunyi di dalam Masjid Krue Se. Tentara kemudian mengepung masjid itu dan melancarkan serangan ke dalam masjid. Insiden ini berlanjut dan menyebar ke seluruh penjuru Thailand Selatan dan menyebabkab lebih seratus pemberontak dan lima tentara terbunuh.

Harish juga mengatakan bahwa pergeseran konflik yang terjadi di Thailand Selatan tidak luput juga dari peran media massa yang lebih suka mem-blow up variabel agama dalam melaporkan konflik di Thailand.

Dia sendiri tidak menyetujui konflik di Thailand Selatan dikategorikan sebagai konflik agama. Harish mencontohkan masyarakat Provinsi Satun yang sebenarnya juga mempunyai akar melayu yang sama dan beragama Islam namun tidak ada gejolak politik yang signifikan disana. Ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat Satun bicara dengan bahasa Thai dan memandang diri mereka bagian dari Thai walaupun mereka tetap beragama Islam

Pergeseran konflik di Thailand Selatan menjadi konflik agama harus menjadi perhatian utama pemerintah Thailand. Karena sejarah mencatat konflik yang didasarkan pada agama membutuhkan penyelesaian yang lama. Apalagi harus diramu dengan variabel etnis.

Thailand harusnya menggunakan apa yang terjadi di Satun sebagai pintu masuk penyelesaian konflik di Thailand Selatan. Karena di masyarakat Satun terjadi perpotongan antara variabel agama dan etnis. Dalam kasus masyarakat Satun perpotongan yang terjadi akan menyebabkan ungkapan “mereka Thai namun juga muslim”.

Dengan begitu baik masyarakat Melayu maupun Thai harus disadarkan dengan cara membalik logika yang tertanam di benaknya dan menjadikan variabel agama bukan sebagai variabel yang menjadi akar konflik melainkan variabel yang akan menyelesaikan konflik. Mereka harus menyadari bahwa menjadi Budha tidak selalu terbatas sebagai orang Thai dan menjadi muslim lebih luas daripada sekedar Melayu.

Organisasi Konferensi Islam sendiri pernah membuat pernyataan bahwa konflik yang terjadi di Thailand Selatan bukanlah konflik agama. Enam anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang baru berkunjung ke beberapa propinsi selatan Thailand beberapa bulan yang lalu (7/6), juga mengecam serangan terhadap warga yang tidak bersalah, yang terjadi selama 17 bulan terakhir.

"OKI menegaskan kembali kebijakan lamanya untuk tidak mendukung separatisme dan sektarianisme; menghormati kedaualtan Thailand dan mengutuk aksi kekerasan dan teror terhadap warga sipil yang tidak bersalah," ujar pimpinan tim OKI yang juga mantan asisten sekjen OKI, Sayed Gasim Almasri.

Tim OKI, tersebut juga bertemu denganbeberapa keluarga dari pemrotes Muslim Thailand yang meninggal dalam tahanan militer setelah kerusuhan Oktober lalu. Kerusuhan itu merupakan satu dari dua kejadian tragis yang telah menewaskan lebih dari 200 warga Muslim Thailand tahun lalu

dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: